Maandag 25 Maart 2013

SITUASI POLITIK DAN SOSIAL-BUDAYA KEDATANGAN ISLAM DI NUSANTARA



.   
SITUASI POLITIK DAN SOSIAL-BUDAYA MENJELANG ISLAM DI NUSANTARA
iain.png

Disusun Oleh : Kelompok 1

                                                Ovi Citra Yeni           (11420707)
                                                Uswatun Hasanah     (11420713)
                                                Warni Oktarina          (11420029)
                                                Asep Irama                (11420715)

Dosen Pembimbing : APRIANA, M. HUM

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAM ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2013
A. PENDAHULUAN
Masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Indonesia dari abad ke-13 sampai abad ke-18 M. merupakan periode sejarah yang menarik perhatian karena terjadinya perubahan-perubahan dibidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan, akibat proses akulturasi antara keagamaan dan kebudayaan yang diperkenalkan oleh pembawa-pembawa Islam dengan keagamaan dan kebudayaan Indonesia masa Pra-Islam. Masa menjelang kedatangan dan penyebaran Islam tersebut kelompok-kelompook masyarakat yang menempati bebagai kepulauan di Indonesia itu sendiri dari dua kelompok besar ditinjau dari segi keagamaan serta kebudayaannya. Di satu pihak masyarakat yang masih percaya kepada animism dan dinamisme dengan unsur-unsur budaya tardisi Pra-Hindu/Budha, dan di satu pihak masyarakat yang sudah mengenal keagamaan Hindu-Budha akibat proses alkuturasi dengan kebudayaan India yang tumbuh dan berkembang sejak lebih kurang abad-abad pertama Masehi hingga abad ke-16 M.[1]
Ketika Islam mensyiarkan Islam ke daerah pesisir Nusantara melalui perdagangan dan pelayaran saat itu juga kondisi politik yang pada saat itu pemerintahan berbentuk kerajaan mengalami berbagai situasi politik yang berbeda-beda disetiap daerahnya. Hal ini merupakan salah satu penyebab Islam mudah diterima oleh masyarakat sekitar tidak hanya oleh rakyat bahkan juga oleh kalangan bangsawan meskipun motif mereka memeluk Islam berbeda-beda juga.
Perkembangan agama Islam di Indonesia yang berlangsung secara evolusi telah berhasil menanamkan akidah Islamiyah dan syari’ah shohihah, memunculkan cipta, rasa, dan rasa bagi pemeluknya. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat telah memeluk agama yang berkembang secara evolusi pula, hingga merasuk ke budaya dan tata cara hidup. Dan budaya itu sudah sangat mengakar di kehidupan masyarakat. Baik itu yang berbaur dengan budaya-budaya sebelumnya, maupun budaya yang tercipta karena munculnya nilai-nilai Islam. Dalam makalah ini, kami akan mencoba mengupas sedikit tentang situasi politik dan sosial-budaya menjelang kedatangan Islam di Nusantara. Semoga makalah ini bisa menjadi referensi bagi pembaca sekalian.
B.     PEMBAHASAN
a)     Situasi Politik Menjelang Islam di Nusantara
Masalah politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan, pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik hubungan internasional dan tata pemerintahan.[2]
Sejak dahulu kawasan Timur yang meliputi kepulauan India Timur dan pesisir Selatan China sudah memiliki hubungan dengan dunia Arab melalui perdagangan. (hamka : 655). Penyebaran agama Islam sejak abad ke-13 makin lama makin cepat meluas di kepulauan Nusantara ini terutama berkat usaha para penyiar ajaran mistik Islam (sufi). Para penyiar ini adalah para anggota aliran tarekat Islam yang melarikan diri dari Baghdad yang pada tahun 1258 jatuh ketangan bangsa Mongol. Kontak budaya antara pusat-pusat penyebaran Islam dengan kota-kota pelabuhan di Indonesia melalui rute Samudra telah membawa serta gagasan para ahli mistik ke Sumatra Utara dan kemudian ke Semenanjung Malaka selama abad 14 hingga 16 gagasan-gagasan mistik tersebut telah sampai ke pulau Jawa.[3]
Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah sama. Demikian pula kerajaan-kerajaan yang didatangi mempunyai situasi politik dan sosial-budaya yang berlainan. Saat kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya di abad ke 7 dan 8, selat Malaka sudah mulai dilalui pedagang-pedagang Muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman Tang, pada abad-abad tersebut diduga masyarakat Muslim telah ada, baik dari Kungfu maupun didaerah Sumatra sendiri.[4]
Sumatara Selatan
            Palembang yang terletak di tepi sungai Musi merupakan kerajaan yang cukup penting. Pelabuhan Palembang banyak dikunjungi oleh kapal-kapal niaga terutama dari Jawa, Madura, Bali dan Sulawesi. Kapal-kapal ini membawa beras, garam, dan bahan pakaian : dan membawa pulang lada dan timah dari Palembang. Dataran rendah di tanah Palembang merupakan tanah rata dan berawa-rawa. Kecuali dibeberapa bagian, hampir seluruh daerah itu tidak cocok untuk pertanian. Namun daerah pedalaman atau dataran tinggi bias menjadi penghasil lada. Hasil-hasil perkebunan ini yang biasa dimonopoli oleh raja, dibeli oleh kaki tangan raja dengan harga murah.[5]
Keterlibatan orang-orang Islam dalam politik baru terlihat pada abad ke-9 M, ketika terjadi pemberontakan petani Cina kepada kaisar Hi Tsung (878-889 M). pada saat itu para petani dibantu  oleh orang-orang Islam dan akibatnya banyak orang Islam terbunuh dan ada juga yang melarikan diri ke Kedah (wilayah Sriwijaya dan Palembang).[6]
Apabila kerajaan sriwijaya pada abad ke 7 sampai abad ke 12 dibidang ekonomi dan politik masih menunjukan kemajuan, maka sejak akhir abad ke-12 mulai menunjukan kemundurannya yang prosesnya terbukti pada abad ke-13.
Tanda-tanda kemunduran Sriwijaya di bidang perdagangan mungkin dapat dihubungkan dengan berita Chou Ku-Fei tahun 1178, dalam Ling-Wai-Tai-Ta yang menceritakan bahwa barang persediaan barang-barang perdagangan di Sriwijaya mahal-mahal, karena negeri itu tidak lagi menghasilakan hasil-hasil alamnya. Untuk mencegah kemunduran kerajaan sriwijaya maka kerajaan tersebut membuat peraturan Cukai yang lebih berat lagi bagi pedagang-pedagang asing yang singgah dipelabuhannya. Apabila para pedagang asing itu berusaha menghindari pelabuhannya, maka dipelabuhan-pelabuhan lainnya mereka dipaksa berlabuh oleh penguasa-penguasa setempat. Dengan demikian, maka pedagang asing tujuannya berlayar ke Cina mengalami berbagai rintangan.[7]
Persedian keperluan untuk pelayaran dan perdagangan yang lebih jauh sudah diambil dipelabuhan-pelabuhan yang dikuasi kerajaan Sriwijaya seperti tersebut diatas bukan mendatangkan hasil pendangan yang lebih menguntungkan tetapi lebih menrugikan karena kapal-kapal dagang itu seringkali menyingkiri pelabuhan-pelabuhan, menembus blokirnya dan menuju tempat-tempat yang mereka ketahui banyak menghasilkan barang dagangan.[8]
Jadi, usaha yang dilakukan Sriwijaya dalam mengatasi kemundurannya dengan memerlakukan kebijakan baru mengenai dengan menaikan cukai terhadap kapal-kapal dagang tidak membuahkan hasil yang diinginkan kerajaan Sriwijaya bahkan kebijakan tersebut memperpuruk keadaan ekonomi kerajaan Sriwijaya hal ini disebabkan karna para pedagang sering kali mengindari pelabuhan Sriwijaya. Akibat kemunduran tersebut banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang menyatakan melepaskan diri dari kerajaan tersebut hal ini semakin melemahkan keadaan Sriwijaya.
Sejalan dengan kelemahan yang dialami kerajaan Sriwijaya mereka para pedagang muslim lebih berkesempatan untuk mendapatkan barang dagang dan keuntungan politik. Mereka menjadi pendukung daerah-daerah yang muncul dan ada yang menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang bercorak Islam. Munculnya daerah tersebut sebagai kerajaan Islam memperkirakan pada abad ke-13 akibat dari proses Islamisasi daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang muslim sejak abad ke-7,8, dan seterusnya. Daerah yang diperkirakan masyarakatnya sudah banyak memeluk Islam ialah Perlak, seperti kita ketahui dari berita Marco Polo yang singgah di daerah itu pada tahun 1292 M.[9]
kemunduran dan keruntuhan kerajaan Sriwijaya itu selain akibat ekspansi politik Singasari - Majapahit, juga karna ekspansi Cina pada masa Kubilai khan di abad ke 13 dan masa pemerintahan dinasti Ming abad ke 14-15 ke Asia Tenggara. Pengaruh politik kerajaan Majapahit ke Samudra Pasai dan Malaka setelah keruntuhan Sriwijaya itu mulai berkurang, terutama setelah dipusat Majapahit sendiri timbul berbagai kekacauan politik akibat perebutan kekuasaan dikalangan Raja. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan yang jauh dari pengawasan pusat kerajaan Majapahit, seperti Samudra Pasai dan Malaka berhasil mencapai puncak kekuasaan hingga abad ke-16 M.[10]
Sumatra Utara
Samudera, sebelum kedatangan dan proses penyebaran Islam, hanyalah sebuah kampong (gampong) yang dipimpin oleh seorang kepla suku. Kampong tersebut telah menjadi tempat persinggahan para pedagang. Sejak abad ke 7 perkampungan ini sudah didatangi para pedagang Muslim. Kota ini kemudian menjadi pusat kerajaan Islam Samudera Pasai. Jumlah penduduk di kota tersebut, berdasar laporan Tome Tires ketika dating lebih kurang 20.000 orang.[11]
Kemudian munculnya kerajaan Samudra Pasai dapat kita hubungan dengan kondisi politik kerajaan Sriwijaya yang mulai menunjukan kelemahannya, sehingga kurang mampu menguasai daerah kekuasannya. Situasi ini dipergunakan oleh orang-orang Muslim, tidak hanya membentuk perkampungan perdaganan yang bersifat ekonomis, tetapi juga untuk membentuk struktur pemerintahan yakni dengan mengangkat Marah silu, kepala suku Gampong Samudra, menjadi sultan Malik Al-Shalih.[12]
Demikian situasi politik kerajaan-kerajaan di daerah Sumatra ketika pengaruh Islam datang kedaerah-daerah itu. Akibat hubungan lalu lintas melalui selat Malaka dengan Samudra Pasai sebagai salah satu pusat persinggahannya maka sampailah Islam ke Senanjung Melayu yaitu ke Trengganu dimana ditemukan batu yang bertulisan huruf Arab - Melayu atau Jawi 1303 M. bahasanya Melayu campur Sangsekerta dan Arab. Demikian pula Malaka pada abad 14 M muncul sebagai pusat pelayaran dan perdagangan kaum muslim. Melalui selat Malaka dengan pusat-pusatnya ialah Samudra Pasai dan Malaka dilanjutkan ke pesisir pulau lainnya yaitu ke pesisir Utara Jawa Timur dengan adanya temuan sebuah nisan yang memuat nama Fatimah binti Maimun bin Hibat Allah.[13]
Jawa Timur
Kedatangan dan penyebaran Islam di pulau Jawa mempunyai aspek-aspek, ekonomi, politik, dan sosial budaya. Sebagaimana dikatakan bahwa karna situasi dan kondisi politik di Majapahit yang lemah karna perpecahan dan peperangan di kalangan keluarga Raja-raja dalam perebutan kekuasaan. Maka kedatangan dan penyebaran islam makin dipercepat. Bupati-bupati pesisir merasa bebas dari pengaruh kekuasaan raja-raja Majapahit, mereka makin lama makin yakin akan kekuasaannya sendiri di bidang ekonomi didaerah-daerahnya. Daerah pesisir merasa makin lama makin merdeka, justru oleh karena kelemahan pendukung-pendukung kerajaan yang sedang mengalami keruntuhan. Perjuangan antara kota-kota perdagangan dipesisir dengan daerah-daerah agraris diperdalaman sedang dimulai. Perkembangan ekonomi dan politik mempunyai tujuan sendiri dan memalui bupati-bupati pesisir yang memluk agama Islam maka agama menjadi kekuatan baru dalam proses perkembangan masyrakat.[14]
Dalam hal ini, J.C. van Leur, berpendapat bahwa karena pertentangan antara keluarga bangsawan dengan kekuasaan pusat Majapahit serta aspirasi-aspirasi keluarga bangsawan untuk berkuasa sendiri atas Negara maka islamisasi menjadi alat politik.[15]
Maluku
Kedatangan Islam ke Maluku tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan internasional antara Malaka, Jawa dan Maluku.[16] Dari persisir Utara Jawa para pedagang muslim itu mendatangi tempat-tempat perdagangan Indonesia dibagian Timur yaitu pulau-pulau Maluku yang terkenal dengan rempah-rempahnya. Maluku sejak abad ke 14 sudah didatangi orang muslim raja Ternate yang ke-12 yaitu Molomateya (1350-1357 M) bersahabat dengan orang-orang muslim arab yang memberikan petunjuk cara membuat kapal. Sedang pada masa pemerintahan Marhum di Ternate, seorang yang bernama Maulana Husen datang kedaerah itu ia mempertunjukan kemahirannya dalam hal menulis huruf arab dan membaca al-Qur;an sehingga menarik perhatian penguasa rakyat Malauku.[17]
Raja Ternate waktu itu sudah memeluk Islam yang bernama Sultan Bom Acorala dan hanyalah raja Ternate yang justru memakai  gelar Sultan sedang yang lainnya digelari raja. Menurut Tome’ Pires (1512-1515) bahwa raja di Maluku terutama kali masuk Islam kira-kira 50 tahun  yang lalu berita tersebut berjalan pula dengan berita Antonio Galvau yang berada disana pada tahun 1540-1545 M, yang menegaskan bahwa Islam didaerah Maluku dimulai 80 atau 90 yang lalu.[18]
Situasi politik didaerah Maluku ketika kedatangan Islam berbeda di Jawa, mereka tidak menghadapi kekacauan politik yang disebakan perebutan kekuasaan dikalangan keluarga penguasa-penguasanya.[19]
Kalimantan Timur
Kedatangan orang-orang Muslim kedaerah Kalimatan Timur diketahui dari hikayat Kutai tidaklah mengambarkan adanya perebutan kekuasaan dikalangan keluarga raja-raja Kutai. Kerajaan Kutai sebelum kedatangan Islam ialah bercorak Hindu sedang dipedalaman terdapat beberapa suku yang masih berkepercayaan kepada aninisme dan aminesme. Dikatakan bahwa ketika Kutai masih diperintahkan raja mahkota datanglah dua orang mubalig yang bernama Tuan di Bandang dan Tuan Tunggang Parangan. Setelah berlomba kesaktian dan raja kalah maka mereka diterima dengan baik dan diperkenankan mengajarkan Islam.[20]
Kalimantan Selatan
Berbeda dengan Kalimantan Timur, Islam masuk ke Kalimantan Selatan ketika terjadi perpecahan dalam Kerajaan Nagara Dipa, Daha dan Kuripan. Sumber yang menjelaskan awal penerimaan Islam didaerah ini adalah Kronik Banjar atau Hikayat Banjar. Saat Islam masuk Nagara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, setelah ia meninggal digantikan oleh Pangeran Tumenggung dan beberapa tahun kemudian terjadi perebutan kekuasaan atau tahta dengan Raden Samudra, cucu Maharaj Sukarama yang lebih berhak atas tahta kerajaan. Raden Samudra kemudian diangkat menjadi rajandi Kerajaan Banjar yang didirikan di daerah pantai dan berperang dengan Nagara Daha dihulu sungai. Dalam peperangan ini Raja Samudra meminta bantuan Demak. Setelah berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung, Raden Samudra kemudian memeluk Islam sebagai realisasi perjanjiannya dengan Demak. Raden Samudra mengganti namanya menjadi Sultan Suryanullah.[21]
Dengan demikian situasi politik di Kalimantan Selatan menjelang kedatangan atau masuknya Islam juga menghadapi pula situasi perebutan kekuasaan atau Tahta diantara keturunan Negara Dipa dan Negara Daha. Meskipun tadi dikatakan bahwa orang-orang muslim datang membantu kerajaan Banjar itu ialah Daru Demak namun tidak musthil pula para pedangan muslim dari Malaka yang bermaksud ke Maluku, diantaranya singgah di Banjar dan mungkin juga bertempat tinggal.
Sulawesi Selatan
Kedatangan para pedagan muslim ke Sulawesi Selatan mungkin sudah ada sejak abad ke-15-16 M dan mungkin berasal dari Malaka, Samutra dan Jawa. Tom Pires mernceritakan bahwa di Sulawesi terdapat lebih kurang 50 buah kerajaan yang raja dan rakyatnya masih menganut berhala. Secara resmi agama Islam dianut di Sulawesi selatan oleh raja Gua dan talo pada tanggal 22 september 1605 M. kemudian ke daerah Bone, Waje, Sopeng dan lainnya, islam disebarkan dari pusat kerajaan Gowa.[22]
Dari uraian tersebut diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa kedatangan Islam ke-beberapa daerah di kepulauan Indonesia menghadapi situasi politik daerahnya yang berbeda-beda yaitu ada yang sedang mengalami perebutan kekuasaan politik  ada yang tidak. Ada daerah yang stuktur birokrasinya bercorak kerajaan Indonesia Hindu Budha dan ada pula yang merupakan suku-suku yang dipimpin kepala suku atau sesepuh.
Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa kedatangan Islam dan penyebarannya di berbagai daerah Nusantara ialah dengan cara damai, melalui perdagangan dan dakwah yang dilakukan oleh para mubalig-mubalig atau orang-orang Muslim. Kemudian jika didapati daerah penyebaran Islam situasi politik di kerajaan-kerajaan itu mengalami kelemahan dan kekacauan di sebabkan perebutan kekuasaan di kalangan para raja maka agama Islam dijadikan politik bagi golongan bangsawan atau raja-raja yang menghendaki kekuasaan. Mereka berhubungan dengan para pedagang Muslim yang posisi ekonominya kuat karna penguasaan pelayaran dilautan dan perdagangan. Dan apabila telah terwujud kerajaan Islam maka berulah mereka melancarkan perang terhadap kerajaan yang bukan Islam. Hal itu bukan hanya karena tujuan agamanya tetapi karena dorongan politik untuk menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya misalnya Gowa melakukan penyerangan terhadap kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, Demak, dan Banten melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa Hindu.
b)     Situasi Sosial-Budaya Menjelang Islam di Nusantara
Sebelum Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Nusantara yang berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih dulu dari pada Islam.
Perlu diketahui bahwa kelompok-kelompok masyarakat, terutama dipusat-pusat kerajaan, biasanya memiliki perkampungan sendiri.  Karenanya, sering kita jumpai istilah-istilah seperti pecinan (perkampungan cina), pakojan (perkampungan orang Arab, yang semula milik orang India), pekauman (perkampungan anggota kerabat pejabat keagamaan keratin), kepatihan ( perkampungan kerabat para patih) dan sebagainya.[23]
Seperti halnya kondisi masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih maju daripada daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena daerah pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir terkena percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah. Secara tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka menjadi mengerti kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing ini seperti pedagang dari Arab, Persia, China, India dan Eropa.[24]
Berbeda dengan daerah pedalaman yang lebih tertutup dari budaya luar. Sehingga mereka lebih condong pada kebudayaan nenek moyang mereka dan sulit menerima kebudayaan dari luar. Awalnya Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman. Masuknya Islam masih sudah terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih eksis, diantaranya adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Selain itu terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tersentuh oleh pengaruh Hindu dari India. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi misalnya Gowa, Wajo, Bone dan lainnya. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak menunjukkan adanya pengaruh Hindu. Contohnya dalam penguburan pada masyarakat Gowa masih berdasarkan tradisi nenek moyang, yaitu dilengkapi dengan bekal kubur.[25]
Hindu Budha lebih dulu masuk di Nusantara daripada Islam. Islam masuk ke Nusantara bisa dengan mudah dan lebih mudah diterima masyarakat pada waktu itu dengan berbagai alasan. [26]
 Pertama, situasi politik dan ekonomi kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit yang mengalami kemunduran. Hal ini juga disebabkan karena perluasan China di Asia Tenggara, termasuk Nusantara. Akibat dari kemunduran situasi politik. adipati-adipati pesisir yang melakukan perdagangan dengan pedagang muslim. Dan akhirnya mereka menjadi penerima Agama Islam. Situasi politik seperti itu mempengaruhi masuknya Islam ke Nusantara lebih mudah. Karena kekacauan politik, mengakibatkan kacauan pada budaya dan tradisi masyarakat.
Kedua, kekacauan budaya ini digunakan oleh mubaligh-mubaligh dan pedagang muslim yang sudah mukim untuk menjalin hubungan yang lebih dekat. Yaitu melalui perkawinan. Akibatnya pada awal Islam di Nusantara sudah ada keturunan Arab atau India. Misalnya di Surakarta terdapat perkampungan Arab, tepatnya di para Kliwon (kampung Arab).
Setelah masuknya Islam di Nusantara, terbukti budaya dan ajaran Islam mulai berkembang. Hal ini tidak bisa terlepas dari peran Mubaligh-mubaligh dan peran Walisongo di Jawa. Bukti bahwa ajaran Islam sudah dikerjakan masyarakat Nusantara. Di kota-kota besar dan kecil yang sudah Islam, terdapat bangunan-banguna masjid yang digunakan untuk berjamaah. Hal itu merupakan bukti budaya yang telah berkembang di nusantara.Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa.
Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah kokoh dan makmur. Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadi sultan kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai “simbol kekuatan politik” hasil akulturasi budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang Muslim dengan masyarakat lokal sekaligus melanjutkan “warisan” kerajaan Majapahit yang dibangun di atas tradisi budaya Hindu-Budha yang kuat sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16.[27]
Selanjutnya para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka. Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga.[28]
Jawa sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi masyarakat Jawa. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa al-Nihal yang menyebutkan ada pengaruh posisi atau letak geografis dan suku bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter penduduknya.[29]
Akulturasi dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir Utara belum mampu menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan para santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih murni.[30]
Jadi, agama Islam sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pedoman masyarakat. Dalam hal inilah Islam sebagai agama sekaligus menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di satu sisi berbagai budaya local yang ada di masyarakat, tidak secara otomatis hilang dengan adanya Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa.[31]
Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.[32]
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.[33]
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.[34]
Contoh-contoh Sosial-Budaya yang mengandung Nilai-nilai Islam[35]
1.      Tepung tawar, biasa dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada orang yang ditepung tawari.
2.      Sungkeman. Kebiasaan ini berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan pada saat Hari Raya dan pada upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan juga setiap kali bertemu.
3.      Tabot atau Tabuik, adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M).
4.      Tingkepan, babaran, pitonan dan pacangan. Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain:
1.      Tingkepan, yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama.
2.      Babaran, yaitu upacara menjelang lahirnya bayi.
3.      Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.
4.      Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.
5.      Sunatan yaitu acara khinatan.
5. Budaya Tumpeng. Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Itulah sebabnya disebut “nasi tumpeng”. Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai “tumpengan”.

C.    KESIMPULAN
kedatangan Islam ke-beberapa daerah di kepulauan Indonesia menghadapi situasi politik daerahnya yang berbeda-beda yaitu ada yang sedang mengalami perebutan kekuasaan politik  ada yang tidak. kedatangan Islam dan penyebarannya di berbagai daerah Nusantara ialah dengan cara damai, melalui perdagangan dan dakwah yang dilakukan oleh para mubalig atau Muslim. Kemudian jika didapati daerah penyebaran Islam situasi politik di kerajaan-kerajaan itu mengalami kelemahan dan kekacauan di sebabkan perebutan kekuasaan di kalangan para raja maka agama Islam dijadikan politik bagi golongan bangsawan atau raja-raja yang menghendaki kekuasaan. Mereka berhubungan dengan para pedagang Muslim yang posisi ekonominya kuat karna penguasaan pelayaran dilautan dan perdagangan. Dan apabila telah terwujud kerajaan Islam maka berulah mereka melancarkan perang terhadap kerajaan yang bukan Islam. Hal itu bukan hanya karena tujuan agamanya tetapi karena dorongan politik untuk menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya misalnya Gowa melakukan penyerangan terhadap kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, Demak, dan Banten melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa Hindu.
Kebudayaan Nusantara sebelum Islam datang sangat dipengaruhi oleh agama-agama sebelumnya, yaitu Hindu dan Budha. Kemudian Islam datang disebarkan oleh para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat yang selanjutnya disebarkan di Nusantara. Kemudian, para pendakwah ini menggunakan banyak metode pendekatan untuk dakwah, salah satunya menggunakan kesenian dan kebudayaa, yang lambat laun semakin diterima oleh masyarakat, bahkan hingga ke para pemimpin. Akan tetapi budaya dan kebiasaan tang ditinggalkan oleh agama-agama terdahulu, tidak sepenuhnya bisa terhapus. Maka dari itu, para pendakwah mencoba menyisipkan nilai-nilai keislaman dalam upacara-upacara dan ritual-ritual serta kebiasaan-kebiasaan dengan melunturkan poin-poin kesyririkan. Yang jutru karena budaya yang dimasuki nilai-nilai Islam, dakwah Islam justru semakin mudah dan diterima. Akan tetapi para pandakwah juga sudah ancang-ancang terhadap kemungkinan adanya penyimpangan ketauhidan.



D.    DAFTAR PUSTAKA

Daliman, A,  Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Ombak, 2012.
Huda, Nur Islam Nusantara (Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia), Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Notosusanto, Nugroho, Sejarah nasional Indonesia jilid III, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Paeni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Islam Religi dan Falsafah, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Sunanto, Musyrifah Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012
Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XII sampai XVIII M, Jakarta : Cinta Ilmu, 2000.




[1]Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XII sampai XVIII M,Jakarta : Cinta Ilmu, 2000, hal. 1-2.
[2]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hal. 28.
[3]A. Daliman,  Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Ombak, 2012, hal. 40.
[4]Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 1.
[5]Nur Huda, Islam Nusantara (Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia), Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, hal. 55-56.
[6]Mukhlis Paeni,  Loc., Cit., hal. 71.
[7]Nugroho Notosusanto, Loc., Cit., hal. 2-3.
[8]Ibid., hal. 3.
[9]Ibid.,
[10]Ibid., hal. 4.
[11]Nur Huda, Loc., Cit., hal. 54.
[12]Uka Tjandrasasmita, Loc., Cit., hal. 19.
[13]Ibid.,
[14]Nugroho Notosusanto, Loc., Cit., hal. 21.
[15]Ibid.,
[16]Mukhlis Paeni, Loc., Cit., hal. 72.
[17]Uka Tjandrasasmita, Loc., Cit., hal. 23.
[18]Ibid., hal. 24.
[19] Ibid., hal. 24-25.
[20]Ibid., hal. 25-26.
[21]Mukhlis Paeni, Loc., Cit., hal. 73.
[22]Uka Tjandrasasmita., Loc., Cit., hal. 26.
[23]Nur huda, Loc., Cit., hal. 61.
[25]Ibid.,
[26]Ibid.,
[27]Ibid.,
[28]Ibid.,
[29]Ibid.,
[30]Ibid.,
[31]Ibid.,
[32]Ibid.,
[33]Ibid.,
[34]Ibid.,
[35]Ibid.,